SOSIALISASI PEDOMAN PEMBERITAAN RAMAH ANAK SESUAI PERATURAN DEWAN PERS NO. 1/PERATURAN-DP/II/2019

Jakarta - Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar, SH. M. Si mengajak seluruh insan pers di Indonesia untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik yang ramah anak. Media tidak mengangkat pelabelan dan diskriminasi yang dapat menutup masa depan anak dalam pemberitaan yang berkaitan dengan anak, ungkapnya. Media massa juga memiliki kewajiban melakukan upaya pelindungan anak, salah satunya dengan mewujudkan pemberitaan yang ramah anak.

Dengan diterbitkannya Peraturan Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang terdiri atas 12 butir oleh Dewan Pers diharapkan media harus mampu menghadirkan solusi, baik anak sebagai korban, pelaku, atau saksi. Semua anak yang berhadapan dengan hukum merupakan korban.

Disela kegiatan Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Media Ramah Anak “Peningkatan Kualitas Pemberitaan Ramah Anak” di Jakarta, pada tanggal 19 Juni 2019, perangkat kebijakan berupa Pedoman Pemberitaan Ramah Anak tersebut sebagai dasar untuk melindungi anak bersama-sama dan mengupayakan pemberitaan dan media yang ramah anak. Pedoman Pemberitaan Ramah Anak tersebut dinilai mampu mendorong komunitas pers untuk menghasilkan berita yang positif, berempati, dan bertujuan melindungi anak.

Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak sesuai Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2019 antara lain :

  1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
  2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
  3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
  4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
  5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
  6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
  7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
  8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
  9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
  10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
  11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
  12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dengan adanya Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak sesuai Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2019 diharapkan Pemberitaan tentang anak hendaknya tetap memperhatikan hak-hak dan kepentingan terbaik anak serta menghindari anak dari pelabelan.