Sragen – Pada tahun 1992, Dr. Tony Djubiantono menerbitkan disertasi doktoral yang berjudul “Les derniers depots marins de la depression de Solo (Java Central, Indonesie)”, menandai mulai dikenalnya kawasan Miri sebagai situs paleontologi dan arkeologi dalam lingkup internasional. Hasil penelitian ini tentunya melewati perjalanan panjang selama hampir satu dekade dalam menelusuri aspek-aspek geologis wilayah Depresi Solo bersama dua orang sahabatnya, Francois Semah dan Anne-marei Semah. Mereka bersama menginisiasi penelitian eksploratif di kawasan Miri. Misi mereka adalah menjawab asal mula terbentuknya daratan di wilayah selatan Perbukitan Kendeng, dinamika lingkungan mulai dari masa awal Pleistosen dan awal penghunian wilayah ini.
Lokasi Miri masih menyimpan banyak pertanyaan. Seperti, Apakah wilayah ini juga dihuni oleh manusia purba? Berapa umur fossil yang cukup banyak ditemukan di wilayah ini? dan, dimana posisi Miri dalam konteks prasejarah regional Pulau Jawa?
Museum Miri memegang peranan penting bagi kesinambungan penelitian mengenai asal-usul manusia dan dinamika perubahan lingkungan pada masa kuarter. Potensi yang dimiliki wilayah ini mampu menyingkap Miri yang kini mungkin masih tersembunyi dibalik ketenaran situs-situs seperti Sangiran, Trinil, Kedungbrubus dan situs lainnya.
Berdiri megah di lingkungan SD Negeri Girimargo I Kecamatan Miri , Museum Purba Miri merupakan museum daerah pertama yang dimiliki oleh Kabupaten Sragen. Cikal bakal museum ini semula berasal dari hasil penelitian Prof. Dr. Francois Semah, seorang Geolog dari Museum National D’Histoire Naturelle Perancis dan Dr Tony Djubiantono dari Balai Arkeologi Jawa Barat. Museum yang masih dalam tahap pengembangan ini memiliki koleksi lebih dari 819 fosil. Keberadaan Situs Miri sangat penting dalam mendukung keberadaan Situs Sangiran. Usaha pelestarian dan kelanjutan Situs Miri tetap dilakukan guna mengangkat potensi kearifan lokal.
Sumber : dari berbagai sumber.
(DISKOMINFO/YD)